Kamis, 05 Maret 2015

Dimusuhi keluarga suami



Sebut saja aku Rina (29) berasal dari keluarga sederhana. Setelah menikah aku di boyong Mas Sandi suamiku untuk tinggal bersama keluarga besarnya di rumah yang mewah. Meski awanya keluarga Mas Sandi menolak hubungan ini karena status keluargaku yang bukan dari golongan ningrat dan terpandang seperti mereka, namun karena kegigihan kami dalam memperjuangkan cinta akhirnya mereka luluh juga. Beberapa bulan setelah kami melangsungkan resepsi pernikahan, Sifat asli keluarganya mulai terlihat. “kamu pikir setelah menikah dengan kakakku  kamu bisa menjadi ratu dirumah ini? Jangan mimpi deh, dasar cewek kampung!” ancam adik Mas Sandi. Bagaikan serigala berbulu domba, Tak jarang mereka memperlakukan diriku layaknya seorang budak bila suamiku tak ada dirumah tetapi semua itu akan berubah manis jika suamiku berada dirumah.
“Rin, kowe ki piye to ngurusi rumah wae kok ora pecus” hardik ibu Sandi yang kental dengan bahasa jawanya. “maaf bu, nanti saya bereskan lagi” jawabku merendah.
 “ San, istrimu itu loh, mbok ya di kasih tahu, mosok tata dahar wae kok ora iso ibu jadi malu sama tamu-tamu nduwe mantu kok gak bisa apa-apa” adu ibu kepada mas Sandi . “ injih bu, mangkeh dalem ajari supados mboten damel cuwo ibu maleh, nyuwun pangapunten ibu “ jawab  Sandi dengan rasa hormat. 
Semakin hari aku semakin tidak nyaman tinggal di rumah mertua. Apapun yang aku kerjakan selalu salah dimata mertua dan saudara-saudara mas Sandi. Sebagai seorang suami yang patuh terhadap perintah orangtuanya, tak banyak yang bisa diperbuat mas Sandi selain meng”iya”kan setiap omongan ibunya tanpa melihat dulu duduk perkaranya. “Mas aku sudah gak tahan dengan semua ini, mereka selalu memojokkan aku” aduku kepada Suami. “Sabar dulu dik, semua itu demi kebaikan kita, nanti lama-lama kamu akan terbiasa dengan aturan disini.” jawab mas Sandi berusaha membesarkan hatiku.
Kesabaran pasti ada batasnya, aku yang setiap hari harus dihadapkan pada penekanan di keluarga Mas Sandi, merasa tak kuat hingga terbesit dalam benakku untuk mengakhiri rumah tanggaku yang masih seumur jagung. Dengan berat hati aku memutuskan untuk pulang kerumah orang tuaku di kampung tanpa didampingi suami. Mas Sandi yang masih dalam kekuasaan dan pengaruh ibunya hanya bisa merelakan aku dan anakku pergi.
Dua pekan setelah kepergianku, Mas Sandi lebih banyak diam dan menyibukkan diri di kantor. Tanpa kusadari, Rupanya kepergianku sengaja di manfaatkan ibu mertuaku untuk menjodohkan mas Sandi dengan rekan bisnis ayahnya yang masih keturunan darah biru. Beruntung semua itu ditolak oleh mas Sandi karena dia masih sangat mencintaiku dan anakku, sontak hal itu membuat ibunya marah besar. Berbagai cara mulai ditempuh ibunya agar mas Sandi bisa melupakanku termasuk mendatangi beberapa paranormal dan “orang pintar”.
Diluar dugaan, mas Sandi menjadi linglung dan lebih senang mengurung diri di kamar tanpa melakukan apa-apa. Adalah Totok, sahabat dekat mas Sandi yang begitu prihatin melihat keadaan suamiku berusaha menghibur dan memberinya nasehat. Tanpa sepengetahuan keluarga  mas Sandi,  diam-diam Totok pergi ke Semarang untuk menemui Ustadz Massar, seorang ustadz yang ahli dalam meruqyah untuk meruqyahkan Mas Sandi dan juga keluarganya melalui jarak jauh agar diberikan kesadaran atas prilakunya selama ini kepada anak dan menantunya. Subhanallah, terapi Ruqyah yang dilakukan Ustadz Massar telah memberikan pencerahan pada diri mas Sandi dan juga keluarganya yang telah diselimuti aura negatif akibat jauh dari agama selama ini.
Sampai pada suatu malam yang sunyi dengan cahaya bintang dan bulan yang indah, aku dikejutkan dengan kedatangan mas Sandi beserta keluarganya ke rumah. “maafkan kami Rin, selama ini telah mendzalimimu” ungkap Ibu Sandi. aku yang lebih dulu mendapatkan penjelasan dari apa yang telah dilakukan Totok untuk keluarga Mas Sandi, berusaha menerima mereka kembali dengan ikhlas. “injih bu, Rina juga minta maaf selama ini banyak berbuat salah kepada ibu” jawabku dengan berlinang air mata karena tak mampu lagi menahan rasa haru. Setelah peristiwa malam itu, akupun kembali tinggal bersama keluarga Mas Sandi. Tak ada lagi amarah, cacian dan fitnah yang selalu ditujukan kepadaku melainkan kasih sayang dan keharmonisan yang kudapat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar