Sebut saja aku Rina (29) berasal dari keluarga sederhana. Setelah menikah
aku di boyong Mas Sandi suamiku untuk tinggal bersama keluarga besarnya di
rumah yang mewah. Meski awanya keluarga Mas Sandi menolak hubungan ini karena
status keluargaku yang bukan dari golongan ningrat dan terpandang seperti
mereka, namun karena kegigihan kami dalam memperjuangkan cinta akhirnya mereka
luluh juga. Beberapa bulan setelah kami melangsungkan resepsi pernikahan, Sifat
asli keluarganya mulai terlihat. “kamu pikir setelah menikah dengan
kakakku kamu bisa menjadi ratu dirumah
ini? Jangan mimpi deh, dasar cewek kampung!” ancam adik Mas Sandi. Bagaikan
serigala berbulu domba, Tak jarang mereka memperlakukan diriku layaknya seorang
budak bila suamiku tak ada dirumah tetapi semua itu akan berubah manis jika
suamiku berada dirumah.
“Rin, kowe ki piye to ngurusi rumah wae kok ora pecus” hardik ibu Sandi
yang kental dengan bahasa jawanya. “maaf bu, nanti saya bereskan lagi” jawabku merendah.
“ San, istrimu itu loh, mbok ya di kasih
tahu, mosok tata dahar wae kok ora
iso ibu jadi malu sama tamu-tamu nduwe mantu kok gak bisa apa-apa” adu ibu
kepada mas Sandi . “ injih bu, mangkeh dalem ajari supados mboten damel
cuwo ibu maleh, nyuwun pangapunten ibu “ jawab
Sandi dengan rasa hormat.
Semakin hari aku semakin tidak nyaman tinggal di rumah mertua. Apapun yang aku kerjakan
selalu salah dimata mertua dan saudara-saudara mas Sandi. Sebagai seorang suami yang patuh terhadap
perintah orangtuanya, tak banyak yang bisa diperbuat mas Sandi selain meng”iya”kan
setiap omongan ibunya tanpa melihat dulu duduk perkaranya. “Mas aku sudah gak tahan dengan semua ini, mereka selalu memojokkan aku” aduku kepada Suami. “Sabar
dulu dik, semua itu demi kebaikan kita, nanti lama-lama kamu
akan terbiasa dengan aturan disini.” jawab mas Sandi berusaha membesarkan hatiku.
Kesabaran pasti
ada batasnya, aku yang setiap hari harus dihadapkan pada penekanan di keluarga Mas Sandi, merasa tak kuat
hingga terbesit dalam benakku untuk
mengakhiri rumah tanggaku yang masih seumur jagung. Dengan berat hati aku memutuskan
untuk pulang kerumah orang tuaku di kampung tanpa didampingi suami. Mas Sandi
yang masih dalam kekuasaan dan pengaruh ibunya hanya bisa merelakan aku dan
anakku pergi.
Dua pekan setelah kepergianku, Mas Sandi lebih
banyak diam dan menyibukkan diri di kantor. Tanpa kusadari, Rupanya kepergianku sengaja di manfaatkan
ibu mertuaku
untuk menjodohkan mas Sandi dengan rekan bisnis
ayahnya yang masih keturunan darah biru. Beruntung semua itu ditolak oleh mas Sandi karena
dia masih sangat mencintaiku dan anakku, sontak hal itu membuat ibunya marah
besar. Berbagai cara mulai ditempuh ibunya agar mas Sandi bisa melupakanku
termasuk mendatangi beberapa paranormal dan “orang pintar”.
Diluar dugaan, mas Sandi menjadi linglung dan lebih
senang mengurung diri di kamar tanpa melakukan apa-apa. Adalah Totok, sahabat dekat mas
Sandi yang begitu prihatin melihat keadaan suamiku berusaha menghibur dan memberinya nasehat. Tanpa sepengetahuan keluarga mas Sandi,
diam-diam Totok pergi ke Semarang untuk menemui Ustadz Massar, seorang
ustadz yang ahli dalam meruqyah untuk meruqyahkan Mas Sandi dan juga
keluarganya melalui jarak jauh agar diberikan kesadaran atas prilakunya selama
ini kepada anak dan menantunya. Subhanallah, terapi Ruqyah yang dilakukan
Ustadz Massar telah memberikan pencerahan pada diri mas Sandi dan juga
keluarganya yang telah diselimuti aura negatif akibat jauh dari agama selama
ini.
Sampai pada suatu malam yang sunyi dengan cahaya bintang dan bulan yang
indah, aku dikejutkan dengan kedatangan mas Sandi beserta keluarganya ke rumah.
“maafkan kami Rin, selama ini telah mendzalimimu” ungkap Ibu Sandi. aku yang
lebih dulu mendapatkan penjelasan dari apa yang telah dilakukan Totok untuk
keluarga Mas Sandi, berusaha menerima mereka kembali dengan ikhlas. “injih bu,
Rina juga minta maaf selama ini banyak berbuat salah kepada ibu” jawabku dengan
berlinang air mata karena tak mampu lagi menahan rasa haru. Setelah peristiwa malam itu,
akupun kembali tinggal bersama keluarga Mas Sandi. Tak ada lagi amarah, cacian
dan fitnah yang selalu ditujukan kepadaku melainkan kasih sayang dan keharmonisan yang kudapat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar