Rabu, 01 Agustus 2012

Kuburan Menyempit Karena Durhaka



            Semua orang yang mengantarkan jenazah menjadi bingung harus berbuat apa, pucat pasi karena rasa khawatir terlihat jelas dari wajah mereka. Semua diluar dugaan, sudah lima kali tanah digali, ukuran jenazah tidak pernah pas. Keadaan tanah yang digali selalu lebih sempit dari jenazah, padahal pada galian terakhir tanah sudah dilebihkan setengah meter.
            Dialah Tabi’in pria kelahiran pulau dewata, berasal dari keluarga kaya dan terhormat. Sebagai anak semata wayang, apapun yang dia inginkan selalu dipenuhi. Bahkan dari awal harta berupa rumah dan beberapa hektar tanah telah berbilik atas nama tabi’in. Sampai akhirnya, Tabi’in mencapai masa remaja. ”Bapak Ibu sudah saatnya saya melangsungkan pernikahan dengan gadis yang saya pilih” pinta Tabi’in kepada kedua orang tuanya.
            Permintaan yang tiba-tiba membuat kedua orang tuanya heran. ”kamu kenapa nak, baru kelas dua SMA tiba-tiba ingin menikah”. Tanya kedua orang tuanya. ”pokoknya saya ingin menikah, terserah apapun itu alasannya” jawab Tabi’in dengan nada tinggi. Dari perkataannya, kedua orang tua Tabi’in mengerti bahwa anaknya dalam masalah.
            Karena curiga, orang tuanya menanyakan ”apa kamu menghamili seorang gadis?”. ”ya” dengan polos tabi’in menjawab. Kedua orang tuanya setuju untuk menikahkan tabi’in dengan gadis pilihannya. Akan tetapi alangkah terkejut kedua orang tua Tabi’in ketika mengetahui bahwa calon istri putranya seorang janda.  Karena terlalu sayang, akhirnya Tabi’in pun dinikahkan dengan gadis yang lebih tua sepuluh tahun dari umurnya.
Awal Prahara
            Setelah menikah prilaku Tabi’in berubah drastis. Apapun yang diinginkan sang istri harus dituruti. Pengaruh jahat istrinya yang ternyata mantan pelacur telah membuat Tabi’in lupa akan Tuhan. ”hidup ini untuk dinikmati suamiku” bujuk sang istri ketika ingin melakukan hal-hal yang dilarang agama. Karena selalu berpoya- poya harta Tabi’in yang tadinya banyak menjadi ludes.
            Akhirnya Tabi’in mengandalkan orang tua dan tinggal bersama. Masih terhasut dengan sifat istri, Tabi’in mulai berani membentak bahkan memarahi kedua orang tuanya hanya karena bertentangan dengan sang istri. ”kalau Ibu Bapak masih sayang Tabi'in, Ibu juga harus menghormati Juwita sebagai menantu” hardik Tabi’in.
            Semakin kerasnya perseteruan antara Juwita dan kedua orang tua, sang istri meminta Tabi’in keluar rumah. Merasa tertekan akhirnya Tabi’in memarahi kedua orang tuanya. ”Kalau Ibu Bapak tidak suka terhadap kami, lebih baik Ibu bapak keluar dari rumah ini”. Mendengar perkataan tersebut, kedua orang tua tabi’in seperti tersambar petir. Kasih sayang yang selama ini diberikan, dibalas dengan caci maki dan pengusiran.
             Dengan hati perih, kedua orang tua Tabi’in pindah ke rumah mereka yang lain. ”Bukan masalah harta atau rumah yang kami sesali. Tapi pengusiran kepada orang tua sendiri yang sangat menyakitkan”. Kabar terakhir yang diterima orang tuanya bahwa Tabi’in menjual rumahnya dan pindah tidak tahu rimbanya.
           Kabar yang memilukan akhirnya sampai ke telinga kedua orang tuanya. Tabi’in mengalami kecelakaan dalam sebuah tabrakan. Pemberitahuan yang sangat terlambat, karena jenazah Tabi’in rusak parah dan hampir tidak dapat dikenali. Penyesalan sudah terlambat, Tabi’in masih membawa durhaka kepada orang tua pada saat ajal menjemputnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar