Semua orang yang mengantarkan jenazah
menjadi bingung harus berbuat apa, pucat pasi karena rasa khawatir terlihat jelas dari
wajah mereka. Semua diluar dugaan, sudah lima kali tanah digali, ukuran jenazah
tidak pernah pas. Keadaan tanah yang digali selalu lebih sempit dari jenazah,
padahal pada galian terakhir tanah sudah dilebihkan setengah meter.
Dialah Tabi’in pria
kelahiran pulau dewata, berasal dari keluarga kaya dan terhormat. Sebagai anak
semata wayang, apapun yang dia inginkan selalu dipenuhi. Bahkan dari awal harta
berupa rumah dan beberapa hektar tanah telah berbilik atas nama tabi’in.
Sampai akhirnya, Tabi’in mencapai masa remaja. ”Bapak Ibu sudah saatnya saya
melangsungkan pernikahan dengan gadis yang saya pilih” pinta Tabi’in kepada
kedua orang tuanya.
Permintaan yang tiba-tiba
membuat kedua orang tuanya heran. ”kamu kenapa nak, baru kelas dua SMA
tiba-tiba ingin menikah”. Tanya kedua orang tuanya. ”pokoknya saya ingin
menikah, terserah apapun itu alasannya” jawab Tabi’in dengan nada tinggi. Dari perkataannya,
kedua orang tua Tabi’in mengerti bahwa anaknya dalam masalah.
Karena curiga, orang
tuanya menanyakan ”apa kamu menghamili seorang gadis?”. ”ya” dengan polos tabi’in
menjawab. Kedua orang tuanya setuju untuk menikahkan tabi’in dengan gadis
pilihannya. Akan tetapi alangkah terkejut kedua orang tua Tabi’in ketika
mengetahui bahwa calon istri putranya seorang janda. Karena terlalu sayang, akhirnya Tabi’in pun
dinikahkan dengan gadis yang lebih tua sepuluh tahun dari umurnya.
Awal Prahara
Setelah menikah prilaku
Tabi’in berubah drastis. Apapun yang diinginkan sang istri harus dituruti.
Pengaruh jahat istrinya yang ternyata mantan pelacur telah membuat Tabi’in lupa
akan Tuhan. ”hidup ini untuk dinikmati suamiku” bujuk sang istri ketika ingin
melakukan hal-hal yang dilarang agama. Karena selalu berpoya- poya harta
Tabi’in yang tadinya banyak menjadi ludes.
Akhirnya Tabi’in mengandalkan
orang tua dan tinggal bersama. Masih terhasut dengan sifat istri, Tabi’in mulai
berani membentak bahkan memarahi kedua orang tuanya hanya karena bertentangan
dengan sang istri. ”kalau Ibu Bapak masih sayang Tabi'in, Ibu juga harus menghormati
Juwita sebagai menantu” hardik Tabi’in.
Semakin kerasnya
perseteruan antara Juwita dan kedua orang tua, sang istri meminta Tabi’in
keluar rumah. Merasa tertekan akhirnya Tabi’in memarahi kedua orang tuanya.
”Kalau Ibu Bapak tidak suka terhadap kami, lebih baik Ibu bapak keluar dari
rumah ini”. Mendengar perkataan tersebut, kedua orang tua tabi’in seperti
tersambar petir. Kasih sayang yang selama ini diberikan, dibalas dengan caci
maki dan pengusiran.
Dengan hati perih, kedua orang tua Tabi’in
pindah ke rumah mereka yang lain. ”Bukan masalah harta atau rumah yang kami
sesali. Tapi pengusiran kepada orang tua sendiri yang sangat menyakitkan”.
Kabar terakhir yang diterima orang tuanya bahwa Tabi’in menjual rumahnya dan pindah
tidak tahu rimbanya.
Kabar yang memilukan
akhirnya sampai ke telinga kedua orang tuanya. Tabi’in mengalami kecelakaan
dalam sebuah tabrakan. Pemberitahuan yang sangat terlambat, karena jenazah
Tabi’in rusak parah dan hampir tidak dapat dikenali. Penyesalan sudah
terlambat, Tabi’in masih membawa durhaka kepada orang tua pada saat ajal
menjemputnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar